PRAKATA
Puji
syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat -Nya penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah Budi Pekerti yang berjudul “Kerukunan Antar
Umat Beragama.”
Tidak
lupa penulis ucapkan terimakasih kepada guru dan teman-teman penulis yang telah
banyak mendukung pengerjaan makalah ini hingga selesai. Makalah ini masih jauh
dari sempurna sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk dapat menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah yang penulis susun ini
nantinya dapat menambah wawasan penulis pada khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Pengertian
"Rukun"
dari Bahasa Arab "ruknun" artinya asas-asas atau dasar, seperti rukun
Islam. Rukun dalam arti adjektiva adalah baik atau damai. Kerukunan hidup umat
beragama artinya hidup dalam suasana damai, tidak bertengkar, walaupun berbeda
agama. Kerukunan umat beragama adalah program pemerintah meliputi semua agama,
semua warga negara RI.
Pada
tahun 1967 diadakan musyawarah antar umat beragama, Presiden Soeharto dalam
musyawarah tersebut menyatakan antara lain: "Pemerintah tidak akan
menghalangi penyebaran suatu agama, dengan syarat penyebaran tersebut ditujukan
bagi mereka yang belum beragama di Indonesia. Kepada semua pemuka agama dan
masyarakat agar melakukan jiwa toleransi terhadap sesama umat beragama".
Pada
tahun 1972 dilaksanakan dialog antar umat beragama. Dialog tersebut adalah
suatu forum percakapan antar tokoh-tokoh agama, pemuka masyarakat dan
pemerintah. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kesadaran bersama dan menjalin
hubungan pribadi yang akrab dalam menghadapi masalah masyarakat.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pandangan agama terhadap kemajemukan agama di Indonesia?
2. Bagaimana
Seharusnya umat beragama memandang dan bekerja sama antar umat beragama?
C. Tujuan
Penulisan makalah ini bermaksud
untuk memenuhi tugas mata pelajaran Budi Pekerti dan untuk menambah wawasan
para pembaca tentang kerukunan umat beragama di Indonesia serta permasalahan
yang di hadapi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
BAB
II
PEMBAHASAN
Kerukunan
antar umat beragama merupakan hal yang harus dianalisis ulang, Mengapa? hal
inilah yang menjadi pembahasan kali ini. Kondisi sosial dan karakteristik
masyarakat yang ada daerah kota medan tergolong pada masyarakat atau komunitas
yang heterogen, baik bidang sosial, budaya dan agama. Di antara etnis yang
paling dominan serta berkembang di Kota Medan adalah etnis Cina, Batak, Jawa,
Minagkabau, Melayu dan etnis Aceh. Situasi atau kondisi masyarakat yang ada
merupakan sebuah tantangan sekaligus memotovasi dalam berkiprah untuk lebih
maju dan mengembangkan potensi yang ada.
Namun
jika ditinjau dari segi etnis yang ada di atas, kebanyakan etnis tersebut
merupakan kaum imigran dari berbagai negara dan daerah. Yang akhirnya
menjandikan masyarakat Kota Medan berpenduduk multi etnis, hal ini membawa
perubahan ke arah yang positif, di mana masyarakat mempunyai toleransi yang
tinggi. Di antara masyarakat pendatang maupun penduduk asli terjadi asimilasi budaya
yang variatif.
Jika
dilihat dari sisi etnis, penduduk asli Kota Medan adalah etnis Melayu, menurut
etnis Melayu Islam, agama merupakan syarakat yang mutlak untuk dapat diakui
menjadi etnis Melayu. Selanjutnya, sejalan dengan perubahan kondisi sosial masyarakat
yang ada di Kota medan, kemudian muncul etnis Batak sebagai imigran yang paling
dominan dari daerah. Yang akhirnya etnis Melayu sedikit demi sedikit kurang
menonjol, dan etnis Melayu diangap sebagai populasi yang kurang mampu menguasai
wilayahnya sendiri.
Jika
ditinjau dari segi agama dari komunitas atau masyarakat Kota Medan, lebih
dominan beragama Islam, kemudian disusul dengan agama lain seperti Kristen,
Protestan, Budha dan Hindu. Hal tersebut merupakan suatu gambaran realitas
kehidupana masyarakat Kota Medan yang serba pluralistik dan heterogen. Kondisi
pluralistik tersebut mengakibatkan timbulnya kecenderungan masing-masing untuk
menganut keyanina dan kepercayaan yang bermacam-macam.
Hal
tersebut juga berpengeruh terhadap sistem kekeluargaan yang ada, masyakarat
Kota Medan khusunya mempunyai cenderung memakai sistem kekeluargaan, yaitu
sistem kekeluargaan patrilinial, walaupun sebahagian kecil ada yang menganut
sistem kekeluargaan matrilineal dan parental. Kepluralistikan tersebut bukan
saja dalam hal sistem kekeluargaan sebagaimana yang disebutkan di atas, namun
dari segi etnis, budaya dan agama turut mewarnai masyarakat Kota Medan
sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Meskipun
demikian, semuanya dipengaruhi oleh budaya, kebudayaan setiap bangsa atau
masyarakat. Berbicara tentang kebudayaan atau budaya dapat ditinjau dari
unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang meruapakan bagian dari suatu
kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan.
A. Pola
Hubungan Masyarakat
Secara
naluri bahwa manusia adalah makhuk yang mempunyai keinginan untuk hidup
bermasyarakat, artinya setiap manusia punya keinginan untuk berkumpul dan
mengadakan hubungan antara sesamanya. Di mana ada masyarakat di sana ada hukum
(Ubi societas Ibi Ius) demikianlah ungkapan Cicero kira-kira 2.000 tahun yang
lalu. Ungkapan yang sama juga pernah disebutkan oleh L. J. Van Apeldoorn, dalam
versi lain ia menyatakan : “Recht is er over de gehele wereld, overal, waar een
samenleving vanmensen is” (hukum terdapat di dalam setiap masyarakat manusia,
betapapun sederhananya masyarakat tersebut). Sesuai dengan ungkapan Cicero dan
L. J. Van Apeldoorn tersebut, seiring dengan kondisi sosial yang terjadi di
dalam kehidupan masyarakat yang ada.
Kumpulan
atau persatuan manusia yang saling mengadakan hubungan satu sama lain itu
dinamakan “masyarakat”. Jadi masyarakat terbentuk apabila dua orang atau lebih
hidup bersama, sehingga dalam pergaulan hidup mereka timbul berbagai hubungan
atau pertalian yang mengakibatkan mereka saling mengenal dan saling mempengaruhi
Bagaimanapun
sederhananya dan moderennya masyarakat tersebut, sangat signifikan adanya
norma, maka norma tetap sebagai suatu yang mutlak harus ada pada masyarakat.
Untuk itu, norma hukum maupun norma lainnya dalam masyarakat tujuannya untuk
keseimbangan, keserasian dan kesejahteraan hubungan-hubungan manusia dam
masyarakat.
Selanjutnya,
sebagaimana telah dijelaskan lebih dahulu bahwa, masyarakat kota Medan yang
multi etnis tentu mempunyai corak dan karaktersitik yang bermacam-macam. Hal
tersebut merupakan sebuah bukti bahwa kondisi itu erat kaitannya dengan kondisi
masyarakat yang pada pada umumnya utamanya, perantau sehingga memilih motif
masing-masing, sesuai dengan karakter dan keadaannya.
Misalnya
orang Minangkabau merantau ke Deli di samping berdagang, mereka juga membawa
pembaharuan, sesuai dengan kondisi dan kebiasaan yang mereka anut. Perantau
Minangkabau mayorotas adalah untuk memperkaya dan memperkuat alam Minangkabau.
Sementara perantau dari etnis Batak cenderung menonjolkan sukunya dengan marga-marganya
yang begitu khas. Dari etnis-etnis yang ada di Kota Medan, para perantau
biasanya utamanya perantau Minangkabau dan Mandailing (Batak) menganggap diri
mereka lebih berpendidikan dibandingkan Tuan Rumah orang Melayu. Minang menolak
berasimilasi dengan budaya Melayu Muslim, begutu juga dengan kelompok
Mandailing (Batak) secara formal telah mengasimilasikan diri ke dalam budaya
Melayu Muslim walau hanya dipermukaan; seperti memakai bahasa Melayu,
menaggalkan nama-nama atau merga Batak mereka dan akhirnya mereka mengaku
berbangsa Melayu.
Sementara
orang Minagkabau menolak praktek-praktek keislaman yang dilaksanakan oleh etnis
Melayu. Sebaliknya, mereka dengan menggunakan organisasi reformis Islamiyah
sendiri, menentang legitimasi konsep Islam masyarakat Melayu. Tetapi hal yang
sangat signifikan untuk diperhatikan adalah, kelompok etnik melayu, sebagai
tuan rumah (host population) tidak memiliki kekuatan sosio-demokrafik
menjadikan dirinya menjadi populasi tuan rumah yang dominan seperti etnik sunda
di bandung, karena etnis Melayu bukan etnis mayorotas di kota Medan.
Disebabkan
adanya multi etnis di kota Medan meyebabkan adanya berbagai varaian sifat dan
budaya yang mempunyai eksistensi tersendiri. Disebabkan adanya kepluralistikan
etnis tersebut, tentunya punya perbedaan serta persamaan. Meskipun ada sekilas
adanya persamaan, tetapi masing-masing mempuanyai ciri khusus, hal ini
disebabkan adanya perbedaan wilayah, bahasa, dan adat. istiadat yang
berbeda-beda. Terlebih-lebih setiap kelompok masyarakat ini tidak merasa
tergabung antara satu dengan yang lain, sesuai dengan sentimen diri mereka.
Sedangkan
menurut Kuncoro Ningrat, dalam karyanya yang berjudul, Antropologi Sosial,
menyebutkan bahwa untuk membedakan komunitas yang satu dengan yang lainnya selain
berdasarkan kenyataan perbedaan yang ada, lebih ditentukan oleh sentimen
persatuan masing-masing kelompok atau komunitas.
Kemudian,
untuk menindak lanjuti dari pendapat Kuncoro Ningrat di atas, dalam hal ini
sangat penting untuk membicarakan tentang pola hubungan masyarakat, sebab
sangat terkait dengan apa yang disebut interkasi sosial. Interaksi tersebut
merupakan faktor utama dalam kehidupan masyarakat, bentuk umum proses sosial
adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan proses sosial), oleh karena
interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.
interkasi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, anatar kelompok-kelompok
manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
Berlangsungnya
suatu interaksi didasrakan pada berbagai faktor, antara lain faktor imitasi,
sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak
sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung. Bila ditinjau
secara lebih dalam maka faktor imitasi misalnya, mempunyai peran yang sangat
penting dalam proses interkasi sosial.
B. Pola
Hidup Beragama Masyarakat
Untuk
mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang sangat siknifikan
untuk dikatahui, yaitu kebudayan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek
itu merupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang pengaruhnya dapat
diamati pada perilaku manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, Nottingham
menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan masyarakat yang
menurutnya terbagi kaepada tiga tipa, kondisi tipe tersebut nampaknya mengikuti
konsep Agus Komte tentang proses tahapan pembentukan masyarakat.
Sejalan
dengan penjelasan di atas, perlu kiranya melihat lebih dalam tentang pola hidup
beragama masyarakat kota Medan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa,
kota Medan merupakan sebuah kota yang serba heterogen, dalam hal ini termasuk
dalam sektor agama dan juga bidang budaya. Sebagai sebuah komunitas yang
heterogen pasti mempunyai atau menganur agama yang berbeda-beda. Di antara
agama yang diakui, agama Islamlah yang paling banyak dianut oleh masyarakat
kota Medan, kemudian menyusul agama Kristen, Protestan, Budha dan Hindu. Dalam
menata pola hidup beragama masyarakat kota Medan yang serba majemuk dalam
bidang agama tersebut, siknifikan adanya dibina dan digalakkan adanaya
kerukunan antar agama.
Agar
kerukunan hidup antar umat beragama, Hugh Goddard, seorang Kristiani Inggris,
yang ahli teologi Islam, mengingatkan, bahwa kerukunan antar umat berama harsu
dihindari penggunaan “standart ganda” (double standars). Orang-orang Kristen
ataupun Islam, misalnya, selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk
dirinya, biasanya standar yang ditunjukkan bersifat ideal dan normatif.
Sedangkan terhadap agama lain, mereka memakia standar lain yang lebih bersifat
relistis dan historis. Melalui standar ganda inilah, muncul prasangka-prasangka
teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama. Ada
tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali ditentukan oleh pandangan
mengenai standar ganda kita. Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar
karena berasal dari Tuhan sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusi.
Namun,
jika ditinjau dari segi kerukunan beragama masyarakat kota Medan selama ini,
sangat mendukung terciptanya kerukunan antar umat beragama. Hal ini terkesan
dari masyarakatnya yang sangat antusias dalam mewujudkan terciptanya kerukunan
yang senantiasa mendambakan kedamaian dan keamanan. Sehingga terhindar dari
kekacauan dan kekerasan yang mengakibatkan kekhawatiran akan muncul percekcokan
yang mengarah kepada perbedaaan agama atau keyakinan.
Bila
dilihat dari struktur sosial masyarakat, acapkali dibedakan antara dua macam persoalan
yang meyangkut pola hidup beragama masyarakat yaitu antara masalah masyarakat
ansich (scientifis or social problems). Dengan problem sosial (ameliorative or
social problems). Yang pertama menyangkut analisis tentang macam-macam gejala
kehidupan masyarakat. Sedangkan yang kedua meneliti gejala-gejala abnormal
masyarakat dengan maksud untuk memperbaiki atau bahkan untuk menghilangkannya.
Sangat
urgen kiranya tinjauan ini, artinya disoroti dalam lingkup kaijian sosiologi
yang notabenenya meyelidiki persoalan-persoalan umum dalam masyarakat dengan
maksud untuk menemukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan kehidupan
kemasyarakatan. Sedangkan proses lanjutannya merupakan bagian dari perekerjaan
sosial (social work). Dengan perkataan lain, berusaha untuk memehami
kekuatan-kekuatan dasar yang berada di belakang tata kelakuan sosial.
C. Contoh
Kerkunan Umat Beragama Di Pulau Bali
Kerukunan
antarumat beragama di Bali sangat mesra dan harmonis, hidup berdampingan satu
sama lainnya, yang diharapkan bisa menjadi contoh kerukunan secara nasional.
"Umat beragama satu sama lain mempunyai toleransi sangat tinggi yang
diwarisi masyarakat secara turun temurun yang hingga kini tetap kokoh dan
mantap," kata Kasi Kepenguluan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali Drs
H Salim Syamlan, Mpd ketika bertindak sebagai khatib pada
shalat Idul Fitri 1 syawal 1433 H di Lapangan Niti Praja Lumintang
Denpasar, Minggu. Ia mengatakan, kondisi kerukunan lintas agama yang kokoh dan
mantap itu diharapkan tetap dapat terpelihara dan ditingkatkan di masa-masa
mendatang, melalui peningkatkan
pemahaman satu sama lain. Oleh sebab itu semua pihak hendaknya mengupayakan
agar kerukunan lintas agama tetap dapat terpelihara dengan baik dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari.
H
Salim Syamlan di hadapan ratusan umat muslim, ia menambahkan, Kanwil
Kementerian Agama maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali terus mengembangkan
dialog dan memantapkan kerja sama dengan tokoh-tokoh lintas agama, sebagai
upaya memelihara kerukunan antarumat di Bali. Kerukunan antarumat beragama di
Bali sangat kokoh, tidak pernah terjadi masalah yang diwarisi sejak 500 tahun
silam itu dan kondisi itu perlu dibina
dan dipelihara di masa-masa mendatang.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia
merupakan salah satu contoh masyarakat yang multikultural. Multikultural
masyarakat Indonesia tidak sauja kerena keanekaragaman suku, budaya,bahasa, ras
tapi juga dalam hal agama. Agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah
agama islam, Katolik, protestan, Hindu, Budha, Kong Hu Chu. Dari agama-agama
tersebut terjadilah perbedaan agama yang dianut masing-masing masyarakat
Indonesia. Dengan perbedaan tersebut apabila tidak terpelihara dengan baik bisa
menimbulkan konflik antar umat beragama yang bertentangan dengan nilai dasar
agama itu sendiri yang mengajarkan kepada kita kedamaian, hidup saling
menghormati, dan saling tolong menolong.
Maka
dari itulah diperlukan suatu model hubungan antar masyarakat yang berbeda agama
yaitu kerukunan hidup antar umat beragama atau toleransi antar umat beragama.
Istilah ini dikemukakan oleh mantan Menteri Agama Indonesia tahun 1972. Sebagai
sarana pencapaian kehidupan harmonis antar umat beragama yang diselenggarakam
dengan segala kearifan dan kebijakan atas nama pemerintah.
Kerukunan
antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial ketika semua golongan agama
bisa hidup bersama tanpa menguarangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan
kewajiban agamanya. Masing-masing pemeluk agama yang baik haruslah hidup rukun
dan damai. Karena itu kerukunan antar umat beragama tidak mungkin akan lahir
dari sikap fanatisme buta dan sikap tidak peduli atas hak keberagaman dan
perasaan orang lain. Tetapi dalam hal ini tidak diartikan bahwa kerukunan hidup
antar umat beragama member ruang untuk mencampurkan unsur-unsur tertentu dari
agama yang berbeda , sebab hal tersebut akan merusak nilai agama itu
sendiriUmat minoritas dapat menikmati kenyamanan ekonomi, sosial, intelektual,
dan spiritual dari umat mayoritas (Islam) tanpa lenyap sebagai minoritas.
Penulisannya,
dalam satu dasawarsa belakangan ini, Pancasila sering disalahartikan, dipandang
sebelah mata, dan terancam oleh ideologi-ideologi transnasional, baik yang
berjubah agama maupun ekonomi.
B. Saran
Menurut Penulis, kedepannya kita
sebagai manusia beragama harus meningkatkan rasa saling menghargai dan
menghormati sesama manusia walaupun berbeda keyakinan. Dan peran pemerintah
juga sangat diperlukan untuk menanggulangi konflik yang kemungkinan bisa
terjadi.
No comments:
Post a Comment