Saturday, 2 March 2013

Pemisahan dan Analisis Campuran



PETA KONSEP
 




















                                       


Analisis Volumetri
            Analisis volumetri yang disebut juga analisis titrimetri adalah teknik analisis yang berdasarkan pada julah (volume) suatu larutan yang sudah diketahui konsentrasinya yang diperlukan untuk bereaksi sempurna dengan sejumlah tertentu komponen cuplikan. Larutan yang konsentrasinya telah diketahui dengan tepat disebut larutan standar/larutan baku/titran. Adapun larutan yang akan ditentukan konsentrasinya disebut titrat. Proses penentuan volume titran yan bereaksi dengan sejumlah volume titrat disebut proses titrasi. Dalam prakteknya di laboratorium, prosedur titrasi dapat dikerjakan sebagai berikut.
            Larutan standar atau titran dimasukkan ke dalam buret, sedangkan larutan yang akan ditentukan konsentrasinya atau titrat dengan volume tertentu ditempatkan dalam labu erlenmeyer. Setelah larutan titrat pada labu erlenmeyer diberi indikator, titran dari buret dibiarkan menetes secara teratur sampai kedua larutan tepat habis bereaksi yang disebut titik ekuivalen.
            Titik ekuivalen adalah pH dimana titran tepat habis bereaksi dengan titrat. Untuk menentukan titik ekuivalen dapat digunakan indikator yang diteteskan pada titrat sebelum dilakukan titrasi. Titrasi dihentikan pada saat terjadi perubahan warna indikator yang digunakan atau pada titik akhir titrasi. Titik akhir titrasi adalah pH dimana terjadi perubahan warna indikator. Untuk suatu titrasi seharusnya titik akhir titrasi sama dengan titik ekuivalen, tetapi dalam praktek hal ini sulit dilakukan. Agar titik akhir titrasi berimpit atau mendekati titik ekuivalen, maka harus dipilih indikator yang paling cocok dalam titrasi. Setelah titrasi dihentikan, volume titran dapat diamati dengan melihat perbedaan angka awal denga angka akhir titrasi. Selanjutnya, data pengukuran volume yang diperoleh digunakan untuk menghitung konsentrasi atau kadar zat yang akan ditentukan.
            Tidak semua reaksi dapat ditentukan dengan cara titrasi. Analisis dengan cara titrasi harus memenuhi syarat – syarat berikut:
1.      Reaksi harus berlangsung sempurna, tunggal, dan menurut persamaan yang jelas.
2.     
Gambar 1. Rangkaian alat titrasi
 
Reaksi harus cepat dan reversibel. Bila tidak cepat, titrasi akan memakan waktu terlalu banyak apalagi menjelang titik akhir reaksi. Bila reaksi tidak reversibel, penentuan akhir titrasi tidak tegas.
3.      Harus ada petunjuk akhir reaksi (indikator). Indikator tersebut berasal dari cara berikut:
a.       Timbul dari reaksi titrasi itu sendiri. Misalnya, pada titrasi campuran asam oksalat + asam sulfat oleh KmnO4, selama titrasi belum selesai titrat tidak berwarna, tetapi setelah akhir titrasi tercapai, larutan menjadi berwarna karena kelebihan setetes saja dari titran menyebabkan warna menjadi jelas.
b.      Berasal dari luar, dapat berupa suatu zat atau  suatu alat yang dimasukkan ke dalam titrat. Misalnya, titrasi asam asetat dengan larutan NaOH menggunakan indicator fenolftalein.
4.      Larutan standar yang direaksikan dengan analit harus mudah dibuat dan sederhana penanganannya serta harus stabil sehingga konsentrasinya tidak mudah berubah.
Berdasarkan jenis reaksi yang digunakan dalam proses analisisnya, analisis volumetri  dibedakan menjadi 2, yaitu sebagai berikut:
a.       Analisis volumetri reaksi metatetik, yang didasarkan pada pertukaran ion dengan tanpa perubahan bilangan oksidasi. Analisis volumetri metatetik meliputi titrasi asam basa (asidi alkalimetri), titrasi argentometri, dan titrasi kompleksometri.
b.      Analisis volumetri reaksi redoks, yang didasarkan pada perpindahan elektron atau perubahan bilangan oksidasi. Analisis reaksi redoks meliputi titrasi permanganometri, titrasi iodimetri, dan titrasi bikromatometri.

Ada beberapa macam titrasi volumetri, diantaranya :
1.      Titrasi Asam Basa
      Titrasi asam basa adalah proses penambahan secara cermat volume asam atau basa yang telah diketahui konsentrasinya ke dalam sejumlah volume larutan asam atau basa yang akan ditentukan konsentrasinya. Jika dalam titrasi digunakan titran asam, disebut asidimetri, sedangkan jika dalam titrasi digunakan titran basa, disebut alkalimetri.
      Titrasi asam basa didasarkan pada reaksi penetralan. Reaksi penetralan asam basa terjadi jika jumlah mol ion H+ dari asam sama dengan jumlah ion OH- dari basa, yang dinamakan sebagai titik ekuivalen. Saat terjadinya titik ekuivalen dapat diketahui dengan bantuan perubahan warna indikator yang ditambahkan pada titrat sebelum proses titrasi dilakukan. Indikator ini akan berubah warna ketika titik ekuivalen terjadi. Pada saat inilah titrasi dihentikan. Keadaaan ketika titrasi dihentikan dengan cara melihat perubahan warna indikator disebut sebagai titik akhir titrasi. Untuk memperoleh ketepatan hasil titrasi, titik akhir titrasi dipilih sedekat mungkin dengan titik ekuivalen. Hal itu dapat dilakukan dengan memilih indikator yang tepat dan sesuai dengan titrasi yang akan dilakukan. Pada titrasi asam basa, pH titik ekuivalen bergantung pada kekuatan asam dan basa yang direaksikan. Oleh karena itu, indikator yang digunakan harus memberikan perubahan warna  yang tampak disekitar titik ekuivalen. Dengan demikian, titk akhir titrsinya masih berada pada trayek perubahan warna indikator. Beberapa indikator asam basa dan trayek perubahan warnanya tertera pada tabel berikut.

Indikator
Trayek Perubahan Warna
Perubahan Warna
Metil jingga
2,9 – 4,0
Merah – kuning
Metil merah
4,2 – 6,3
Merah – kuning
Bromtimol biru
6,0 – 7,6
Kuning – biru
Fenolftalein
8,3 – 10,0
Tak berwarna - biru

Hitungan Titrasi Asam Basa
      Dengan menggunakan data volume titrat, serta volume dan konsentrasi titran, kadar titrat dapat dihitung. Hitungan dapat ditentukan atas dasar ekuivalensi jumlah mol asam dan basa. Pada saat titik ekuivalen, mol-ekuivalen asam akan sama dengan mol-ekuivalen basa. Oleh karena itu, hal itu dapat ditulis sebagai berikut:
                  mol-ekuivalen asam = mol-ekuivalen basa
      Mol-ekuivalen diperoleh dari hasil perkalian antara normalitas dengan volume. Jadi, rumus diatas dapat kita tulis sebagai berikut:
                              N x V asam = N x V basa
      Normalitas diperoleh dari hasil perkalian antara molaritas (M) dengan jumlah ion H+  pada asam atau jumlah ion OHpada basa, sehingga rumus diatas menjadi sebagai berikut:
                  n x M x V asam = n x M x V basa
 Keterangan:
N = normalitas
V = volume
M = molaritas
n = jumlah ion H+ asam atau OH- basa

Contoh soal:
1.      Titrasi 10 mL  larutan HCl memerlukan 15 mL larutan NaOH 0,1 M. Tentukan konsentrasi larutan HCl!

Jawab:
Diketahui: Vasam = 10 mL
                   Vbasa = 15 mL
                   Mbasa = 0,1 M
Ditanya:     Masam = ……?

n x M x V asam = n x M x V basa
1.Masam . 10 = 1. 0,1 . 15
Masam = 1.0,1 . 15 / 1. 10 = 0,15 M
Jadi, konsentrasi HCl = 0,15 M

2.      Sebanyak 25 mL larutan KOH dalam titrasi memerlukan 30 mL larutan H2SO4 0,1 M. Hitunglah konsentrasi KOH!

Jawab:
Diketahui: Vasam = 30 mL
                   Vbasa = 25 mL
                   Masam = 0,1 M
Ditanya:     Mbasa = ……?

n x M x V asam = n x M x V basa
2 . 0,1 . 30 = 1. Mbasa . 25
Mbasa  = 6/25 = 0,24 M
Jadi konsentrasi KOH = 0,24 M.



Grafik Titrasi Asam Basa
     Pada proses titrasi, hubungan perubahan pH larutan dengan volume titran yang ditambahkan ke dalam larutan yang dititrasi (titrat) dapat dipetakan dalam suatu grafik yang disebut grafik titrasi. Dari grafik titrasi dapat ditentukan pH pada titik ekuivalen, sehingga indikator yang sesuai untuk titrasi dapat dipilih. Berikut grafik  titrasi dari berbagai macam titrasi asam basa serta ciri-ciri masing-masing grafik.
a.       Titrasi Asam Kuat dengan Basa Kuat
   Grafik titrasi asam kuat dengan basa kuat dimulai dari pH rendah (± 1) yang menunjukkan asam kuat dan berakhir pada pH tinggi (±13) yang menunjukkan basa kuat (Gambar 2). Perubahan pH yang besar terjadi di sekitar titik ekuivalen (pH = 7). Indikator yang dapat digunakan adalah metil merah, bromtimol biru, atau fenolftalein.
Gambar 2. Grafik titrasi asam kuat dengan basa kuat
 

b.      Titrasi Asam Lemah dengan Basa Kuat
   Grafik titrasi asam lemah dengan basa kuat dimulai pada pH ~3 yang menunjukkan asam lemah dan berakhir pada pH ~13 yang menunjukkan basa kuat (Gambar 3). Titik ekuivalen pada pH > 7. Indikator yang dapat digunakan adalah fenolftalein.


Gambar 3. Grafik titrasi asam lemah dengan basa kuat
 

c.       Titrasi Asam Kuat dengan Basa Lemah
   Grafik titrasi asam kuat dengan basa lemah dimulai dari pH rendah (±1) yang menunjukkan asam kuat dan berakhir pada pH ~11 yang menunjukkan basa lemah (Gambar 4). Titik ekuivalen pada pH < 7. Indikator yang dapat digunakan adalah metil merah.
Gambar 4. Grafik titrasi asam kuat dengan basa lemah
 

d.      Titrasi Asam Lemah dengan Basa Lemah
   Grafik titrasi asam lemah dengan basa lemah dimulai dari pH ~3 yang menunjukkan asam lemah dan berakhir pada pH ~11 yang menunjukkan basa lemah (Gambar 5). Tidak terjadi perubahan yang besar pada titik ekuivalen (pH ~7). Indikator yang dapat digunakan adalah bromtimol biru.


Gambar 5. Grafik titrasi asam lemah dengan basa lemah
 

Menentukan Kadar Asam Asetat
         Cuka dapur yang dijual dalam berbagai merek mengandung asam asetat. Pada label botol cuka dapur umumnya tertulis kadar asam yang terkandung di dalamnya. Kadar asam asetat dalam cuka dapur dapat ditentukan dengan titrasi asam basa. Asam asetat yang terkandung dalam suatu contoh cuka dapur dititrasi dengan larutan NaOH yang telah diketahui kadarnya. Berdasarkan volume larutan NaOH, yang diperlukan dalam titrasi dapat ditentukan kadar asam asetat.

Contoh soal:
1.       Untuk mengetahui kadar asam asetat dalam cuka dapur, diambil 2 mL larutan cuka kemudian ditambahkan air sehingga volume larutan menjadi 50 mL. Selanjutnya, 5 mL larutan ini dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 M. Jika larutan NaOH yang digunakan sebanyak 4,8 mL dan massa jenis larutan cuka = 0,96 gram/mL, tentukan kadar asam asetat dalam cuka dapur!

Jawab:
Reaksi antara CH3COOH dan NaOH:
CH3COOH(aq) + NaOH(aq)          CH3COONa(aq)  + H2O(l)
Dalam 5 mL larutan cuka terdapat mmol cuka sebesar:
mmol cuka (CH3COOH) = mmol NaOH (berdasarkan reaksi)
                                         = 4,8 mL x 0,1 M
                                         = 0,48 mmol
Dalam 50 mL cuka ada    = 50 mL/5mL x 0,48 mmol
                                         = 4,8 mmol
Dalam 5 mL cuka (CH3COOH) mengandung massa jenis sebesar = 0,96 g/mL sehingga massa cuka dalam 5 mL sebagai berikut:
   Berat cuka = ρ x v
                     = 0,96 gram/mL . 2 mL
                     = 1,92 gram
Dalam 50 mL cuka terdapat 4,8 mmol CH3COOH sehingga massa dari cuka tersebut dapat dihitung dengan mempergunakan persamaan mol, yaitu sebagai berikut:
   mol = massa zat/Mr (untuk molekul)
   4,8 mmol = massa zat/60 mg/mmol
   Massa zat = 4,8 mmol x 60 mg/mmol
                    = 288 mg = 0,288 gram
Jadi, dalam 50 mL cuka terdapat 0,288 gram cuka (CH3COOH).
Maka kadar dari cuka sampel dapat sebagai berikut:
Kadar cuka = (massa zat hasil hitungan / massa zat semula) x 100%
                    = (0,288 / 1,92) x 100%
                    = 15 %
Jadi kadar cuka dalam cuka sampel adalah 15%.

2.    Titrasi Argentometri
        Titrasi argentometri adalah titrasi yang menggunakan larutan perak untuk mengetahui kadar suatu unsur dalam sampel. Misalnya, titrasi argentometri digunakan pada penetapan sianida (CN), tiosianat (SCN), dan klorida (Cl). Prinsip kerjanya, unsur yang ingin ditetapkan dititrasi dengan larutan perak (umumnya digunakan perak nitrat, AgNO3) sehingga pada titik akhir terbentuk endapan perak. Misalnya pada penetapan klorida, endapan yang terbentuk adalah AgCl.
        Ada 3 metode titrasi argentometri, yaitu sebagai berikut:
a.       Metode Fajans
Metode Fajans adalah titrasi argentometri dengan menggunakan indikator adsorpsi. Indikator ini berasal dari senyawa organik yang dapat diserap pada permukaan endapan yang terbentuk selama reaksi berlangsung. Adsorpsi indikator terjadi menjelang titik ekuivalen sehingga perubahan warna juga terjadi pada endapan yang terbentuk.
b.      Metode Mohr
Metode Mohr adalah titrasi argentometri dengan menggunakan indikator ion kromat. Titik akhir titrasi ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna merah bata dari perak kromat, Ag2CrO4.
c.       Metode Volhard
Metode Volhard adalah titrasi argentometri dengan menggunakan indikator ion besi (III) dan titran ion tiosianat untuk mentitrasi ion perak. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna merah karena bereaksinya ion besi (III) dengan kelebihan ion tiosianat.

Contoh soal:
1.      Sampel infus ditentukan kadar kloridanya secara argentometri menggunakan metoda Mohr. Pada pembakuan,  ditimbang NaCl  600,0 mg, dilarutkan dalam air suling sampai 100,0 mL, dipipet sebanyak 10,0 mL dan dititrasi dengan larutan AgNO3, indikator K2CrO4. Titran yang diperlukan adalah 11,50 mL.
Pada penentuan kadar sampel, dipipet 10,0 mL larutan infus, dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL ditambah indikator K2CrO4, dititrasi dengan larutan AgNO3 sampai terbentuk endapan berwarna merah bata. Apabila titran yang diperlukan adalah 10,80 mL, berapa persen (b/v) kadar klorida dalam sampel infus? (BM NaCl 58,55, BA Cl 35,5). Apabila menurut persyaratan Farmakope kadar NaCl dalam larutan infus adalah 0,9%, tidak kurang dari 95% dan tidak lebih dari 105%, apakah kadar NaCl dalam larutan infus tsb. memenuhi persyaratan Farmakope?

Jawab:
NNaCl = 0,6000/58,55 x 1000/100 = 0,1025 grek/L
Baku AgNO3 = (10,0 x 0,1025) /11,50 = 0,0891 N
NaCl dalam infus            10,0 mL masukkan EM + Aqua dest 250 mL
           setara dg= 10,80 x 0,0891 mgrek=0,9623 mmol
Dalam 10,0 ml infus ada NaCl 0,9623 mmol= 0,9623 x 58,55 mg = 56,34 mg = 0,0563 g = 0,563 %
Kadar NaCl 0,563 % < dari 0,9 % syarat
Farmakope; berarti         Tidak memenuhi syarat Farmakope.

3.    Titrasi Permanganometri
Permanganometri adalah penetapan kadar zat berdasarkan hasil oksidasi dengan KMnO4. Metode permanganometri didasarkan pada reaksi oksidasi ion permanganat. Oksidasi ini dapat berlangsung dalam suasana asam, netral dan alkalis.
MnO4- + 8H+ + 5e → Mn 2+ + 4H2O
            Kalium permanganat dapat bertindak sebagai indikator, jadi titrasi permanganometri ini tidak memerlukan indikator, dan umumnya titrasi dilakukan dalam suasana asam karena karena akan lebih mudah mengamati titik akhir titrasinya. Namun ada beberapa senyawa yang lebih mudah dioksidasi dalam suasana netral atau alkalis contohnya hidrasin, sulfit, sulfida, sulfida dan tiosulfat .
Reaksi dalam suasana netral yaitu:
MnO4 + 4H+ + 3e → MnO4 +2H2O
Kenaikan konsentrasi ion hidrogen akan menggeser reaksi kekanan
Reaksi dalam suasana alkalis:
MnO4- + 3e → MnO42-
MnO42- + 2H2 O + 2e → MnO2 + 4OH-
MnO4- + 2H2 O + 3e → MnO2 +4OH-
Reaksi ini lambat dalam larutan asam, tetapi sangat cepat dalam larutan netral. Karena alasan ini larutan kalium permanganat jarang dibuat dengan melarutkan jumah-jumlah yang ditimbang dari zat padatnya yang sangat dimurnikan misalnya proanalisis dalam air, lebih lazim adalah untuk memanaskan suatu larutan yang baru saja dibuat sampai mendidih dan mendiamkannya diatas pemanas uap selama satu/dua jam lalu menyaring larutan itu dalam suatu penyaring yang tak mereduksi seperti wol kaca yang telah dimurnikan atau melalui krus saring dari kaca maser.
Permanganat bereaksi secara cepat dengan banyak agen pereduksi berdasarkan pereaksi ini, namun beberapa pereaksi membutuhkan pemanasan atau penggunaan sebuah katalis untuk mempercepat reaksi. Kalau bukan karena fakta bahwa banyak reaksi permanganat berjalan lambat, akan lebih banyak kesulitan lagi yang akan ditemukan dalam penggunaan reagen ini sebagai contoh, permanganat adalah agen unsur pengoksida, yang cukup kuat untuk mengoksida Mn(II) menjadi MnO2 sesuai dengan persamaan:
3Mn2+ + 2MnO4- + 2H2O → 5MnO2 + 4H+
Kelebihan sedikit dari permanganat yang hadir pada titik akhir dari titrasi cukup untuk mengakibatkan terjadinya pengendapan sejumlah MnO2 .
Tindakan pencegahan khusus harus dilakukan dalam pembuatan larutan permanganat. Mangan dioksidasi mengkatalisis dekomposisi larutan permanganat. Jejak-jejak dari MnO2 yang semula ada dalam permanganat. Atau terbentuk akibat reaksi antara permanganat dengan jejak-jejak dari agen-agen produksi didalam air, mengarah pada dekomposisi. Tindakan ini biasanya berupa larutan kristal-kristalnya, pemanasan untuk menghancurkan substansi yang dapat direduksi dan penyaringan melalui asbestos atau gelas yang disinter untuk menghilangkan MnO2. Larutan tersebut kemudian distandarisasi dan jika disimpan dalam gelap dan tidak diasamkan konsentrasinya tidak akan banyak berubah selama beberapa bulan.
Penentuan besi dalam biji-biji besi adalah salah satu aplikasi terpenting dalam titrasi-titrasi permanganat. Asam terbaik untuk melarutkan biji besi adalah asam klorida dan timah (II) klorida sering ditambahkan untuk membantu proses kelarutan. Sebelum dititrasi dengan permanganat setiap besi (III) harus di reduksi menjadi besi (II). Reduksi ini dapat dilakukan dengan reduktor jones atau dengan timah (II) klorida. Reduktor jones lebih disarankan jika asam yang tersedia adalah sulfat, mengingat tidak ada ion klorida yang masuk . Jika larutannya mengandung asam klorida seperti yang sering terjadi reduksi dengan timah (II) klorida akan lebih memudahkan. Klorida ditambahkan kedalam larutan panas dari sampelnya dan perkembangan reduksi diikuti dengan memperhatikan hilangnya warna kuning dari ion besi.
      Standarisasi Larutan KMnO4
Larutan KMnO4 dapat distandarisasi dengan larutan standar denhgan larutan standar H2C2O4 atau Na2C2O4 dengan mereaksikan 10 mL H2C2O4 0,05M dengan 0 mL larutan H2SO4 1M ke dalam erlenmeyer. Selanjutnya dipanaskan dengan kompor listrik dalam ruang asam hingga suhu 700o C warna dari H2SO4dan H2C2O4 mula-mula tidak berwarna kemudian dititrasi dengan KMnO4 tetes demi tetes. Pemanasan dilakukan karena reaksi dengan permanganat lambat pada suhu kamar. Oleh karena itu dipanaskan hingga suhu 700o C. Setelah itu suhu dipertinggi, reaksi memulai lambat tetapi kecepatan meningkat setelah Mn2+ terbentuk. Mn2+ bertindak sebagai katalis dihasilkan oleh reaksinya sendiri. Setelah dilakukan pemanasan larutan tersebut dititrasi dengan KMnO4 hingga diperoleh warna merah muda permanen. Setelah itu menghitung jumlah KMnO4 yang digunakan dan mengulangi percobaan dua kali. Dan pada percobaan I diperoleh volume sebesar 10 mL dan berwarna coklat kemerahan. Disini bisa timbul warna coklat kemerahan karena sebelum dititasi dengan KMnO4 larutan H2C2O4 + H2SO4 harus didinginkan setelah dipanaskan. Berbeda dengan percobaan I, percobaan II diperoleh volume sebesar 8,3 mL dan warna yang ditimbulkan adalah merah muda yang konstan (karena sudah didiamkan terlebih dahulu). Larutan standarisasi yang digunakan asam oksalat CH2C2O4 0,05M yang oleh KMnO4 akan dioksidasi menjadi CO2 menurut reaksi sebagai berikut:
2MnO4-(aq) + 6H+(aq)+5H2C2O4(aq) 2Mn2+(aq)+8H2O(l)+10CO2(g)
Dalam percobaan ini, sebagai pengasam digunakan larutan H2SO4 encer dan bukan larutan yang lain, misalnya HCl encer yang tidak boleh digunakan sebab dapat dioksidasi oleh KmnO4 menjadi Cl2 sebagai berikut:
MnO4-(aq) + 16H+(aq)+10Cl-(aq) Mn2+(aq) + 5Cl2(g) + H2O(l)
Dalam titasi permanganometri, tidak dibutuhkan indikator karena perubahan warna dari tidak berwarna menjadi merah muda menunjukan titik akhir suatu titrasi warna yang diperoleh pun harus sudah dalam keadaan tetap, artinya saat melakukan pengadukan, warna merah muda yang muncul tidak hilang, hal ini menunjukan titik kestabilan. Dalam hal ini terjadi reaksi oksidasi dan reduksi:
Oksidasi : H2C2O4 CO2 + 2H+ +2e-
Reduksi : MnO4- + 8 H+ Mn2+ + 4 H2O
Dan dalam percobaan standarisasi larutan KMnO4 diperoleh molaritasnya sebesar 0,021 M.
Kelebihan dan Kekurangan Titrasi Permanganometri
a.       Kelebihan Titrasi Permanganometri
Titrasi permanganometri ini lebih mudah digunakan dan efektif, karena reaksi ini tidak memerlukan indikator, hal ini dikarenakan larutan KMnO4 sudah berfungsi sebagai indikator, yaitu ion MnO4- berwarna ungu, setelah direduksi menjadi ion Mn-tidak berwarna, dan disebut juga sebagai autoindikator.
b.      Kekurangan Titrasi Permanganometri
Sumber-sumber kesalahan pada titrasi permanganometri, antara lain terletak pada: larutan pentiter KMnO4¬ pada buret. Apabila percobaan dilakukan dalam waktu yang lama, larutan KMnO4 pada buret yang terkena sinar akan terurai menjadi MnO2 sehingga pada titik akhir titrasi akan diperoleh pembentukan presipitat coklat yang seharusnya adalah larutan berwarna merah rosa. Penambahan KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan seperti H2C2O4. Pemberian KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan cenderung menyebabkan reaksi antara MnO4- dengan Mn2+. MnO4- + 3Mn2+ + 2H2O ↔ 5MnO2 + 4H+. Penambahan KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan seperti H2C2O4. Pemberian KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan mungkin akan terjadi kehilangan oksalat karena membentuk peroksida yang kemudian terurai menjadi air.
H2C2O4 + O2 ↔ H2O2 + 2CO2
H2O2      ↔  H2O  +  O2
Hal ini dapat menyebabkan pengurangan jumlah KMnO4 yang diperlukan untuk titrasi yang pada akhirnya akan timbul kesalahan titrasi permanganometri yang dilaksanakan.

         Manfaat Titrasi Permanganometri
Manfaat titrasi permanganometri adalah untuk mengetahui kadar dari zat-zat yang bilangan oksidasinya masih dapat dioksidasi. Dalam bidang industri, metode ini dapat dimanfaatkan dalam pengolahan air, dimana secara permanganometri dapat diketahui kadar suatu zat sesuai dengan sifat oksidasi reduksi yang dimilikinya, sehingga dapat dipisahkan apabila tidak diperlukan atau berbahaya.


Contoh soal:
1.      Dalam suasana asam besi (II) dititrasi dengan larutan kalium permanganat 0,0206 M, larutan KMnO4 yang diperlukan 40,20 mL. Hitunglah mg besi dalam larutan tersebut?
Dalam suasan asam:
MnO4- +  8H+ + 5e        Mn2+ + 4H2O x 1
Fe2+         Fe3+ + e                                  x 5
MnO4- + 8H+ + 5Fe2+        Mn2+ + 4H2O + 5Fe3+
Pada titik ekivalen:
Mol KMnO4 = M.V
      = 0,0206 M x 40,2 mL
      = 0,828 mmol
5 mol Fe = 1 mol KMnO4
mol Fe yang diperlukan = 5 x 0,828 mmol
                           = 4,14 mmol
Banyaknya Fe yang diperlukan adalah:
  = 4,14 mmol Ar.Fe.
          = 231,8 mgram

4.    Titrasi Iodimetri
5.    Titrasi Iodometri
6.    Titrasi Bikromatometri

No comments:

Post a Comment